Selasa, 13 Maret 2012

makalah masail fiqhiyah

MASALAH HAK ATAS TANAH YANG DIGUSUR OLEH PEMERINTAH DENGAN GANTI RUGI YANG TIDAK SESUAI I. PENDAHULUAN Dewasa ini banyak kita jumpai permasalahan rumah atau penggusuran tanah dikarenakan memang semakin banyaknya penduduk dan pembangunan perekonomian yang semakin maju sehingga memerlukan fasilitas untuk memudahkan jalur perekonomian maupun pembangunan tersebut, khususnya pemerintah untuk memudahkan tersebut sampai menggusur rumah warga ataupun tanah warga. Dan pada saat sekarang ini yang beredar rumor di masyarakat ganti rugi yang diberikan pemerintah tidak sepadan atau seimbang, sehingga masyarakat tampak resah dengan adanya itu. Oleh karena itu saya ingin mencoba membahasnya pada judul makalah saya yaitu : Masalah Hak Atas Tanah Yang Digusur Oleh Pemerintah Dengan Ganti Rugi Yang Tidak Sesuai. II. RUMUSAN MASALAH A. Apa Pengertian Hak Atas Tanah ? B. Bagaimana Hukum Menggusur Tanah Untuk Kepentingan Umum ? C. Bagaimana Cara Terbaik Untuk Menentukan Ganti Rugi Penggusuran Menurut Fiqih? D. Bagaimana Hukum Pembebasan Tanah dengan Ganti Rugi yang Tidak Sesuai? III. PEMBAHASAN A. Pengertian Hak Atas Tanah Hak atas tanah adalah hak yang memberikan kewenangan kepada yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Ciri khusus dari hak atas tanah adalah si mempunyai hak berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Hak atas tanahdiatur dalam Bab II UU No.5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria.Bila melihat pengaturan yang terdapat dalam UUPA maka hak- hak tanah terdiri dari;a. Hak milik Sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menyebutkan bahwa Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hak milik dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain. Dapat dikatakan bahwa sifat khas darihak milik adalah turun temurun, terkuat, terpenuh. Hak yang tidak mempunyai ketiga ciri sekaligus bukan merupakan hak milik. Bersifat turun temurun artinya hak milik tidak hanya berlangsung selama hidupnya orang yang mempunyai, tetapi dapatdilanjutkan oleh ahli warisnya apabila pemiliknya meninggal dunia.Terkuat menunjukan ; 1.Jangka waktu haknya tidak terbatas. Jadi berlainan dengan hak guna usahaatau hak guna bangunan yang jangka waktunya tertentu. 2.Hak yang terdaftar dan adanya tanda bukti hak terpenuh artinya : a) Hak Milik itu memberikan kewenangan kepada yang empunya yang palingluas jika dibandingkan dengan hak lain. b) Hak Milik merupakan induk dari hak-hak lain artinya seorang pemilik tanah bisa memberikan tanah kepada pihak lain dengan hak-hak yang kuran dari padahak milik. c) Hak Milik tidak berinduk kepada hak atas tanah lain, karena hak milik adalah hak yang paling penuh, sedangkan hak lain kurang penuh. d) Dilihat dari peruntukannya hak milik juga tidak terbatas.Seorang pemilik tanah dengan hak milik pada dasarnya bebas menggunakantanahnya. Pembatasan penggunaan tanah berkaitan dengan fungsi sosial dari tanah. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagian yang mempunyai hak maupun bagimasyarakat dan Negara.Hal yang tidak dikehendaki dan tidak dibenarkan adalah apabila tanah itudipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi hak itumenimbulkan kerugian bagi masyakarat (penjelasaan Pasal 6 UU No.5 Tahun 1960).Berkaitan dengan fungsi sosial, sudah sewajarnya apabila tanah itu dipelihara dengan baik agar bertambah kesuburannya serta disegah kerusakannya (ketentuan Pasal 15UU Nomor 5 Tahun 1960). Kewajiban itu tidak hanya dibebankan kepada pemeganghak atas tanah yang bersangkutan, tetapi juga kepada setiap orang, badan hukum atauinstansi yang mempunyai hubungan Hukum dengan tanah itu.Hak Milik pada dasarnya mempunyai mempunyai ciri-ciri sebagai berikut; a. Hak Milik dapat dijadikan hutang b. Boleh digadaikan c. Hak Milik dapat dialihkan kepada orang laind. Hak Milik dapat dilepaskan dengan sukarelaKetentuan Pasal 27 UUPA menyebutkan bahwa hak milik hapus apabila ; a). Tanahnya jatuh kepada Negara ; 1. Pencabutan hak berdasarkan ketentuan Pasal 18 UUPA. 2. Karena dengan penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya. 3. Karena diterlantarakan, 4. Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) b). Tanahnya musnah. Dengan adanya ini maka hak atas tanah yang dipunyai seseorang sesuai dengan hukum tanah nasional dilindungi dari gangguan pihak lain. Demikian juga hak atas tanah seseorang tidak boleh dirampas dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum, termasuk oleh penguasa. Macam-macam hak atas tanah dalam sistem pemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria menurut UUPA dibedakan dalam dua kategori (1) hak primer yaitu semua hak yang diperoleh langsung dari negara dan (2) hak sekunder artinya semua hak yang diperoleh dari pemegang hak atas tanah lain berdasarkan perjanjian bersama. Tanah-tanah yang sudah dipunyai dengan hak-hak atas tanah primer, disebut dengan nama sebutan haknya, misalnya tanah hak milik, tanah hak guna usaha dan lain-lain. Dengan adanya ketentuan tersebut maka orang-orang atau badan hukum yang memerlukan bidang tanah maka dapat mengajukan permohonan dan nantinya dapat diberikan hak atas tanah tertentu. Dengan dimilikinya bidang tanah dengan hak tertentu, maka apabila diperlukan oleh pihak lain khususnya dalam kaitannya dengan kegiatan perolehan hak atas tanah maka hak tersebut harus dihormati. B. Hukum Menggusur atau Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Dalam usaha pembangunan untuk kepentingan umum maka tidak terlepas dari kegiatan perolehan hak atas tanah. Jika ditinjau dari peraturan perundang-undangan yang ada khususnya dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebenarnya sudah dilakukan pembagian yakni terdapat pasal-pasal yang mengatur perolehan hak atas tanah untuk kepentingan umum dan pasal-pasal yang mengatur perolehan hak atas tanah selain kepetingan umum. Dalam kaitannya dengan perolehan hak atas tanah untuk kepentingan umum terdapat adanya dua pasal penting yaitu Pasal 18 dan Pasal 6. Dalam Pasal 18 disebutkan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama bagi rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak menurut cara yang diatur dalam Undang-undang. Dalam penjelasan Pasal 18 disebutkan bahwa pasal ini merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-hak atas tanah. Pencabutan hak dimungkinkan tetapi diikat dengan syarat-syarat, misalnya harus disertai dengan ganti kerugian yang layak. Atas dasar Pasal 18 tersebut maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya Kalau disimak dari ketentuan tersebut maka nampak bahwa yang diatur dalam Pasal 18 UUPA dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 itu hanya dalam kaitannya dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Maka dangan demikian dapat diketahui bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum, seseorang atau badan hukum pemegang hak atas tanah harus rela melepaskan tanahnya. Hal ini sesuai dengan yang diatur dalam ketentuan Pasal 6 UUPA yang menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hal ini berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus sesuai dengan keadaannya dan sifat haknya hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Hal ini bukan berarti hak perorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum. Untuk itu bagi orang atau badan hukum yang terkena proyek pembangunan untuk kepentingan umum, maka mereka berhak mendapatkan ganti kerugian yang layak. Dengan demikian antara kepentingan perorangan dan kepentingan masyarakat akan terjadi keseimbangan sehingga pada akhirnya diharapkan akan tercapai tujuan pokok yakni kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat . Pengaturan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam perkembangannya telah mengalami berbagai perubahan yakni diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan-Ketentuan mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan yang terakhir diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Pembangunan pertanahan tidak lepas dari pemahaman tentang kepentingan umum. menurut John Salindeho belum ada definisi yang sudah dikentalkan mengenai pengertian kepentingan umum, namun cara sederhana dapat ditarik kesimpulan atau pengertian bahwa kepentingan umum dapat saja dikatakan untuk keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan sosial yang luas. Oleh karena itu rumusan demikian terlalu umum, luas dan tak ada batasnya, maka untuk mendapatkan rumusan terhadapnya, kiranya dapat dijadikan pegangan sambil menanti kepastiannya, yakni kepentingan umum adalah termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, denganmemperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis dan hankamnas atas dasar azas-azas Pembangunan Nasional dengan mengindahkan Ketahanan Nasional serta wawasan Nusantara. Sedangkan dalam Peraturan pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 Pasal 1 ayat (5) yaitu kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat. Pengertian lain menyebutkan bahwa “umum” (Al-mursalah) adalah mutlak tidak ada ikatan dan batasan tertentu. Maksudnya adalah kepentingan yang mutlak tidak ada ikatan dan batasan tertentu. Menurut hukum islam ada beberapa penjelasan mengenai penggusuran atau pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dicontohkan dengan memperluas gedung masjid, yaitu: a). Ketika Umar r.a. diangkat sebagai khalifah dan jumlah penduduk semakin banyak, ia memperluas masjid dengan memebeli rumah dan dirobohkannya. Kemudian ia menambahkan perluasannya dengan merobohkan (bangunan) penduduk yang berada di sekitar masjid yang enggan untuk menjualnya. Umar r.a kemudian memberikan harga tertentu sehingga mereka mau menerimanya. Umar r.a membangun dinding yang pendek kurang dari tinggi manusia, dan memasang lampu-lampu. Umar r.a adalah orang yang pertama kali membuat dinding untuk masjid. b). Ketika Usman r.a diangkat sebagai khalifah, ia kemudian membeli rumah-rumah dan dipergunakan untuk memperluas masjid. Ustman r.a mengambil rumah-rumah penduduk dan menetapkan harganya. Mereka kemudian berdemo di kediamannya. Ustman r.a kemudian berkata ; “Sesungguhnya kesabarankulah yang membuat kalian berani terhadapku, sesungguhnya hal ini sudah pernah dilakukan oleh Umar terhadap kalian, dan kalian menyetujuinya”. Kemudian Ustman r.a memerintahkan untuk memenjarakan mereka sehingga Abdullah bin Khalid Asad mendiskusikannya, dan akhirnya ia melepaskan mereka. (Al-akhkam As-sulthaniyah lilmawardi 162) Sesungguhnya termasuk pemaksaan yang syar’I adalah memaksa seseorang yang memiliki rumah yang bergandengan dengan masjid, sementara masjid memerlukan perluasan, maka dalam hal ini boleh memaksanya untuk menjual rumahnya tersebut untuk kepentingan perluasan masjid. Demikian halnya orang yang memiliki tanah yang bergandengan dengan jalan umum, maka dalam hal ini imam atau penguasa boleh mempergunakan uang kas negara untuk membayar tanah tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh ustman dalam memperluas masjid rasulullah saw. Jadi sesungguhnya kepentingan umum itu didahulukan di atas kepentingan khusus, mengingat hukum dasar pada mereka adalah amanat. Adapun jika dipaksa untuk menjual dengan pemaksaan yang halal, maka penjualannya sah sebagaimana pemaksaan menjual tanah untuk perluasan masjid, jalan umum atau kuburan. (Hashyiyatuddusyuqi 38). Hukum penggusuran tanah demi kepentingan umum (al-maslahah al-ammah) boleh, dengan syarat betul-betul pemanfaatannya oleh pemerintah untuk kepentignan umum yang dibenarkan oleh syara’ dan dengan ganti rugi yang memadai atau sesuai. Sebagaimana maksud dari ganti rugi yang memadai dan sesuai yaitu harga dẩ dan harga umum setempat. menurut pendapat John Salindeho mengenai pengertian harga dasar dan hargaumum setempat atas tanah yang terkena pembebasan hak atas tanah. Karenadikatakan Harga dasar atau NJOP maka harus menjadi dasar untuk menentukan hargatanah atau uang ganti rugi untuk tanah. Sedangkan harga umum setempat diartikan suatu harga tanah yang terdapat secara umum dalam rangka transaksi tanah di suatu tempat. Boleh dikata harga umum yaitu harga pasaran atau hasil rata-rat harga penjualan pada suatu waktu tertentu. C. Cara Terbaik Untuk Menentukan Ganti Rugi Penggusuran Menurut Fiqih Cara yang terbaik yaitu dengan menempuh musyawarah atas dasar keadilan dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Jika dilihat dari pemgertian dari musyawarah itu sendiri, secara Etimologis, musyawarah berasal dari kata Syawara yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu sdari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain termasuk pendapat. Sedangkan secara Terminologis, Musyawarah atau Syura adalah sesuatu yang sangat penting guna menciptakan perarturan didalam masyarakat manapun. Karena kata musyawarah adalah bentuk masdar dari kata kerja syawara yang dari segi jenisnya termasuk kata kerja mufa’alah (perbuatan yang dilakukan timbal balik), maka musyawarah haruslah bersifat dialogis, bukan monologis. Semua anggota musyarah bebas mengemukakan pendapatnya, sehingga keputusan yang dihasilkan tidak lagi merugikan karena sudah ada kesepakatan bersama. Allah swt telah berfirman tentang seberapa penting musyawarah itu, yaitu : Artinya: “Juga mereka yang suka mematuhi seruan Tuhannya, mengerjakan shalat, menyelesaikan setiap persoalan antar sesamanya secara bermusyawarah, menafkahkan barang apa rezeki yang telah Kami berikan kepadanya”.(QS. Syura: 38). Dalam ayat diatas syura atau musyawarah sebagai sifat yang sangat penting untuk menyelesaikan permasalahan itu dengan cara dimusyawarahkan. Karena dengan musyawarah itu permasalahan akan diselesaikan dengan hasil yang disepakati bersama. فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا (البقرة: ٢٣٣ ) Artinya: “Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawarahan antara mereka. Maka tidak ada dosa atas keduanya”. (QS. Al-Baqarah: 233) Ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya hubungan suami istri saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti menceraikan anak dari menyusu ibunya. Didalam menceraikan anak dari menyusu ibunya kedua orang tua harus mengadakan musyawarah, menceraikan itu tidak boleh dilakukan tanpa ada musyawarah, seandainya salah dari keduanya tidak menyetujui, maka orang tua itu akan berdosa karena ini menyangkut dengan kemaslahan anak tersebut. Jadi pada ayat di atas, al-Qur’an memberi petunjuk agar setiap persoalan itu harus dimusyawarahkan apalagi dalam hal ini masalah bersama yaitu antara pemerintah dengan rakyat yang dalam hal ini yaitu terkait pembebasan tanah. فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (ال عمران: ١٥٩ ) Artinya: “Maka disebabkan rahmat Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras. Niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Kerena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS. Ali ‘Imran: 159) Dalam ayat ini disebutkan sebagai fa’fu anhum (maafkan mereka). Maaf secara harfiah, bearti “menghapus”. Memaafkan adalah menghapuskan bekas luka dihati akibat perilaku pihak lain yang tidak wajar. Ini perlu, karena tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sinarnya kekeruhan hati. Disisi lain, orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu memberi maaf. Karena mungkin saja ketika bermusyawarah terjadi perbedaan pendapat, atau keluar kalimat-kalimat yang menyinggung perasaan orang lain. Dan bila hal-hal itu masuk kedalam hati, akan mengeruh pikiran, bahkan boleh jadi akan mengubah musyawarah menjadi pertengkaran. Itulah kandungan pesan fa’fu anhum. Ayat diatas turun dalam konteks perang Uhud, dimana pasukan islam nyaris mengalami kehancuran gara-gara pasukan pe,amah yamg ditempatkan nabi diatas bukit tidak disiplin. Sebenarnya sebelum perang Uhud terjadi, nabi Muhammad saw telah melakukan musyawarah terkait bagaimana cara menghadapi musuh, apa ditunggu dari dalam kota makkah atau disongsong keluar kota. Akhirnya musyawarah antara nabi dan para sahabat menghasilkan pilihan yang kedua, yaitu memilih menyongsong keluar kota. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa bermusyawarah itu sangat penting karena nabi Muhammad saja yang dikenal dengan ma’shum dan mendapatkan wahyu saja masih memilih bermusyarah untuk mentukan suatu hasil dari permasalahan yang dihadapi, apalagi kita manusia biasa yang tidak luput dari salah dan dosa. D. Hukum Pembebasan Tanah dengan Ganti Rugi yang Tidak Sesuai Pembebasan tanah rakyat dengan harga rendah baik oleh pemerintah maupun oleh swasta yang disokong pemerintah tentunya sangat merugikan rakyat. Biasanya rakyat akan menolak pembebasan tanah seperti tersebut. Karena harga yang ditawarkan tidak sesuai dengan tanah yang mereka miliki. Namun karena pemerintah dan pihak-pihak terkait melakukan berbagai cara, akhirnya rakyat terpaksa menyerahkan tanahnya dengan ganti rugi yang tidak memadai. Pembahasan tanah dengan harga yang tidak memadai dan tanpa kesepakatan kedua belah pihak tergolong perbuatan zalim karena termasuk baitul mukrah dan hukumnya haram serta tidak sah. Dalam rukun jual beli salah satu syarat penjual dan pembeli adalah atas kehendak sendiri (bukan paksaan). Sedangkan dalam kasus ini, rakyat dipaksa untuk menjual tanahnya dengan harga rendah. Dalam QS. An Nisa’ : 29 menyebutkan : يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُم Artinya: “Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan bathil kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu”. (An Nisa’ : 29) Diterangkan juga dalam sebuah hadits rasulullah saw., : انما البيع عن تراض Artinya: ”Sesungguhnya jual beli itu atas dasar saling ridho” Mengambil tanah orang lain dengan cara paksa juga diterangkan dalam sebuah hadits rasulullah saw. Yaitu : من اقتطع أرضا ظالما لقي الله وهو عليه غضبان Artinya : “Barangsiapa mengambil sebidang tanah dengan cara aniaya (zalim) dia akan menemui allah dalam keadaan allah marah kepadanya”. Secara khusus hadits yang mulia ini menunjukkan kemarahan rasulullah saw., kepada pendurhaka (yang mengambil tanah orang lain secara aniaya) disertai dengan kemarahan allah kepada para pendurhaka lain. Sebab Seorang yang zalim adalah orang yang tidak rela dengan nikmat allah. Allah marah karena sifat rakusnya yang ingin menguasai hak orang lain dia bersedia bersumpah, sehingga dibolehkan bersumpah dengan cara yang sebanding (antara kedua pihak yang saling mengklaim). Pembebasan tanah dengan harga yang tidak memadai dan tanpa kesepakatan kedua belah pihak, tergolong perbuatan zalim karena termasuk bai’ul mukrah dan hukumnya haram serta tidak sah. Apabila pembebasan tanah tersebut dilakukan oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang dibenarkan menurut syara’, dengan harga yang memadai maka hukumnya boleh sekalipun tanpa kesepakatan. تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة Artinya: “Tindakan penguasa terhadap rakyatnya harus terkait dengan kepentingan (umum)”. (Al Asybah wan Nazhair, hlm 83) اذاكان فعل الامام مبنياعلى المصلحة فيمايتعلق بالامور العامة لم ينفذ امره شرعاالاإذاوافقه فان خالفة لم ينفذ Artinya: “Jika tindakan imam itu didasarkan pada kepentingan umum maka secara syar’i perintahnya itu tidak boleh dilaksanakan kecuali sesuai dengan kepentingan umum”. (Al Asybah wan nazhair ibni Najim, hlm 124) وليس للامام ان يحرج سيئامن يداحدالابحق تابت معروف Artinya: “Imam tidak boleh mengeluarkan apapun dari tangan siapapun kecuali dengan hak (berkekuatan hukum) yang tetap dan ma’ruf” اماالاكراه بحق فيصح اقامة لرضاالشرع مقام رضاه Artinya: “Adapun pemaksaan dengan (alasan) yang benar adalah sah melaksanakan keadaan syara’ (kebenaran) itu kedudukannya sama dengan kerelaan (pemilik)nya”. (Mughnil Muhtaj juz II, hlm 7) Perpindahan harta milik individu menjadi milik umum atau sebaliknya adakalanya berdasarkan kewajiban syara’ seperti istimlak/hak mengambil tanah oleh negara dengan paksa, untuk menciptakan kemaslahatan umum. Misalnya, negara boleh mengambil tanah untuk dibuat jalan umum, rumah sakit, dan sebagainya, untuk kemaslahatan masyarakat. IV. KESIMPULAN Jadi sesungguhnya kepentingan umum itu didahulukan di atas kepentingan khusus, mengingat hukum dasar pada mereka adalah amanat. Adapun jika dipaksa untuk menjual dengan pemaksaan yang halal, maka penjualannya sah sebagaimana pemaksaan menjual tanah untuk perluasan masjid, jalan umum atau kuburan. (Hashyiyatuddusyuqi 38). Hukum penggusuran tanah demi kepentingan umum (al-maslahah al-ammah) boleh, dengan syarat betul-betul pemanfaatannya oleh pemerintah untuk kepentignan umum yang dibenarkan oleh syara’ dan dengan ganti rugi yang memadai atau sesuai. Sebagaimana maksud dari ganti rugi yang memadai dan sesuai yaitu harga dẩ dan harga umum setempat. menurut pendapat John Salindeho mengenai pengertian harga dasar dan hargaumum setempat atas tanah yang terkena pembebasan hak atas tanah. Karenadikatakan Harga dasar atau NJOP maka harus menjadi dasar untuk menentukan hargatanah atau uang ganti rugi untuk tanah. Sedangkan harga umum setempat diartikan suatu harga tanah yang terdapat secara umum dalam rangka transaksi tanah di suatu tempat. Boleh dikata harga umum yaitu harga pasaran atau hasil rata-rat harga penjualan pada suatu waktu tertentu. Pembebasan tanah dengan harga yang tidak memadai dan tanpa kesepakatan kedua belah pihak, tergolong perbuatan zalim karena termasuk bai’ul mukrah dan hukumnya haram serta tidak sah. Apabila pembebasan tanah tersebut dilakukan oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang dibenarkan menurut syara’, dengan harga yang memadai maka hukumnya boleh sekalipun tanpa kesepakatan. V. PENUTUP Dengan mengucapkan rasa syukur kepada Allah yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayat, serta inayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini, semoga uraian-uraian yang saya sampaikan dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi saya sendiri dan para pembaca. Saya menyadari makalah ini masih kurang sempurna, maka dari itu kritik dan saran yang konstruktif sangat membantu dalam kesempurnaan makalah ini. Saya berdo’a kepada Allah semoga Allah meridhoi makalah ini. Amin . . . . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar